Embun

Sudah ada takarannya

Tanpa sengaja mata saya tertuju pada seekor cecak yang menempel dinding, jalan merayap kesana kemari. Subhanallah, makhluk yang satu ini berjalan di dinding dengan kemiringan 90 derajat tanpa jatuh. Lebih hebat ketimbang Spiderman yang hanya ada di film. Sepertinya cecak tersebut lapar. Dengan sabar menunggu mangsa yang lewat dihadapannya. Hup, dia melakukan lompatan. Didapatkannya nyamuk sebagai santapan malam itu. Cecak melakukan hal yang sama berulang kali.

Saya jadi ingat dawuhnya guru saya, “Semua takaran rizki telah itentukan oleh Allah dan tidak akan mungkin tertukar dengan yang lain atau hilang dari sisi kita”. Lebih lanjut Beliau menjelaskan, Coba direnungkan, cecak yang tidak memiliki sayap namun makanannya adalah nyamuk yang memiliki sayap”.

Terkadang kita memang teledor dalam hal ini. Bekerja siang malam. Belum lagi kaki jadi kepala, kepala adi kaki. Toh hasil yang kita dapatkan hanya segitu saja. Di sisi lain, ada orang yang hanya duduk-duduk manis mendapatkan rizki yang berlimpah.

Semua telah di takar oleh yang membuat Hidup, tinggal bagaimana kita menyikapi pemberian yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada kita. Nriman kata orang jawa. Apa-apa yang Allah Swt. berikan kepada kita diterima dengan rasa syukur yang mendalam. Kita tidak mengetahui hikmah di balik itu.[]

Standard
Embun

Nyaris

“Mas, jadi datang ke rumah saya”, tanya teman saya melalui ym!.
“Tentu, saya nunggu hujan reda dulu,” jawab saya.

Sore itu saya akan mengunjungi seorang teman di Bojonegoro, 30 km dari Tuban tempat berkarya saya yang baru. Tepak pukul 4.30 sore hujan reda segera saya jalankan motor pinjaman dari sekolah menuju terminal lama Tuban. Saya titipkan motor saya di tempat penitipan 24 jam dengan harapan jika nanti terlalu malam saya tidak perlu khawatir jika tidak mendapatkan kendaraan umum.

Bus kecil jurusan Tuban – Jombang telah menunggu di pertigaan. Masih sepi penumpangnya. Saya ambil duduk di belakang sopir. 5 menit berlalu penumpang hanya bertambah 1 orang. Saya coba melihat keluar, ada bakso terlihat menggiurkan. “Mengapa saya tidak mencoba mencicipi ya” dalam hati saya bergumam. Jadilah saya turun dan mencicipi bakso tersebut. Saya mencoba makan bakso tersebut dengan cepat takut ketinggalan bis, namun panas bakso menghambat makan saya. Ternyata dugaan saya benar, bis siap-siap berangkat. “Menghabiskan bakso” atau “Naik bis”. Akhirnya saya memilih makan bakso atas saran penjual bakso tersebut. “Masih ada bis lagi mas di belakang, gak lama kok,” penjual bakso tersebut berkata kepada saya.

Nyaris.

1 jam kemudian saya telah sampai di rumah teman, Sumberrejo. Ngobrol-ngobrol dengan teman saya yang ini tidak ada bosannya. Sama-sama peminat handphone ‘jadul’ selalu ada saja yang diobrolkan. Rencana saya membeli handphone ‘sirip hiu’ miliknya. Harga sudah cocok tinggal mencoba handphone tersebut.

Tidak terasa waktu sudah pukul 7 malam. Segera saja saya pamit takut kemalaman dan tidak dapat tumpangan bis. “Mas, biasanya jika sudah jam 7 malam seperti ini bisa terakhir jam 8, bis kentjono, di tunggu saja. Jika sudah tidak ada sebaiknya naik bis ke arah Bojonegoro saja.” teman saya memberi saran. Karena saya baru pertamakali ke Sumberrejo jadilah saya ikuti sarannya.

Waktu menunjukkan pukul 8 malam, mulai badan saya gemetaran. Benarkah kata teman saya tersebut padahal waktu sudah jam 8 malam dan bis yang saya tunggu tak kunjung datang. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, mulai badan saya gemetaran.

Benarkah kata teman saya tersebut padahal waktu sudah jam 8 malam dan bis yang saya tunggu tak kunjung datang. Saya coba bertanya dengan orang penjual sate di sebelah tempat saya menunggu. Jawabannya sama dengan teman saya. Bis terakhir jam 8. Sedikit plong namun tetap saja rasa khawatir membayangi saya. Bakalan tidur di emperan nih pikir saya. Alhamdulillah, 5 menit kemudian bis yang saya tunggu akhirnya muncul. Segera saja saya melambaikan tangan untuk menghentikannya. Akhirnya saya terangkut pulang ke Tuban lewat Babat.

Nyaris.

Standard