Al Islam

Hieraki Para Wali

Para wali membangun suatu struktur secara hieraki yang berbentuk piramide dengan quthb sebagai puncaknya. Yang paling bawah adalah akhyar yang berjumlah 300. Di atasnya adalah abdal berjumlah 40. Di atasnya lagi abrar berjumlah 7 orang. Di atasnya 4 orang autad disusul di atasnya 3 orang nuqoba dan seorang yang berada di puncak adalah quthb atau ghauts. Aswad bin Syaiban meriwayatkan sebuah hadis dari Abdullah demikian, “Di antara makhluk Alloh terdapat 300 manusia yang hatinya sama dengan hati Nabi Adam as., 40 hati manusia yang sama dengan hati Nabi Musa as., 7 hati manusia yang sama dengan hati Nabi Ibrahim as., 5 hati manusia yang sama dengan hati dengan hati malaikat Jibril, 3 hati manusia yang sama dengan hati malaikat Mikail, dan 1 hati manusia yang sama dengan hati malaikat Israfil. Apabila ada seorang yang mati, Alloh segera memberi pengganti untuk menduduki tempatnya…” Ibnu Mas’ud juga meriwayatkan sebuah hadis yang senada, dan diakhiri dengan kalimat, “Dengan mereka itulah, Alloh menghindari umat ini dari bencana.” Wali quthb merupakan khalifah nabi yang selalu ada (bila wafat ada penggantinya) di permukaan bumi. Ia mencapai derajat ini; setelah mengetahui hakikat syariat, sesudah memahami rahasia kodrat Tuhan, sesudah tidak makan melainkan dengan usahanya sendiri, sesudah tubuh dan jiwanya suci, tidak lagi membutuhkan kehidupan duniawi tapi semata-mata ditujukan kepada hadirat Alloh.

Sebuah tempat terhormat dan khusus dalam hieraki pada wali ditempati oleh seorang tokoh “tokoh gaib” yang disebut al-Khadhr atau al-Khidhr (secara harfiah berarti hijau). Khidhr ini berada di sebuah tempat bertemunya dua lautan. Kaum sufi menafsirkan dua lautan tersebut sebagai tempat bertemunya keadaan fana’ dan baqa’. Banyak kaum sufi yang menyatakan dirinya sebagai murid “tokoh gaib” ini (yang menurut keyakinan selama ini dikenal dengan Nabi Khidhr).

Wallahu ‘alam.

(referensi: Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, LKiS)

Standard
Qobasat

Ujian dan Cobaan itu Untuk Kebaikan

Jangan resah dengan musibah-musibah yang menimpa diri kita dan jangan mengeluh dengan kegetiran-kegetiran yang datang bertubi-tubi. Dalam hadis disebutkan, “Sesungguhnya Alloh jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan mendatangkan cobaan kepada mereka. Dan barangsiapa rela dengan ujian itu, maka dia akan memperoleh kerelaan-Nya. Dan barangsiapa membencinya maka dia akan memperoleh kebencian-Nya.”

Standard
Uncategorized

Terompah Sang Wali

Syekh Abu Umar Utsman Ash Shairafi dan Syekh Abu Muhammad Abdul Haq Al Harimi berkisah: Suatu ketika, kami sedang duduk di hadapan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di madrasahnya. Saat itu, bertepatan dengan hari Ahad, 3 Shafar tahun 555 H. Kami lihat Syekh baru saja berwudhu’ dengan memakai kedua terompahnya, lalu beliau shalat dua rakaat. Selepas salam, tiba-tiba beliau berteriak dengan keras kemudian mengambil satu terompahnya dan melemparkannya ke atas. Terompah itu terbang tinggi hingga menjulang tak terlihat mata. Sejenah kemudian, beliau berbuat hal serupa dengan terompah yang satunya. Setelah itu, beliau duduk dan mengajar kami seperti biasa. Namun, tidak ada seorang pun dari kami yang berani menanyakan hal aneh itu kepada beliau.

Setelah berlangsung dua tiga hari dari kejadian itu, ada rombongan dari kota Ajam (Persia-Iran) datang ke Iraq untuk menemui Syekh. Mereka berkata kepada kami, “Kami datang ke sini untuk niat dan nazar kami kepada Syekh. Kami mohon izin untuk bertemu dengan beliau.” Tiba-tiba Syekh muncul dari dalam dan berkata, “Biarkan mereka masuk, dan ambillah oleh-oleh dari mereka!”

Setelah oleh-oleh itu di buka, ternyata di dalamnya berisi beberapa potong emas, baju sutra dan dua terompah milik Syekh yang dulu pernah dilemparkan ke atas.

Didorong rasa penasaran, kami lalu menanyakan kepada mereka mengenai dua terompah Syekh yang berada di tangan mereka.

Mereka bercerita, “Ketika kami berada dalam suatu perjalanan, tepatnya pada hari Ahad, 3 Shafar tahun 555 H, tiba-tiba ada sekelompok perampok yang dikomandani dua orang pemimpin menyerang kami. Mereka merampas harta kami dan membawa kami menuju suatu lembah yang gelap dan sepi.

Kami tidak menemukan cara menyelamatkan diri dari tangan mereka. Akhirnya terlintas di pikiran kami untuk menyebut nama Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Kami pun serentak memanggil nama beliau. Kami bernazar jika diselamatkan oleh Alloh swt. dari bahaya ini melalui perantara Syekh, maka kami akan memberikan hadiah kepada beliau.

Baru saja kami memanggil nama Syekh, tiba-tiba kami mendengar jeritan yang keras hingga terdengar ke seluruh lembah. Kami lihat para perampok yang menyandera kami ketakutan dan bingung. Salah seorang dari mereka lalu lari mendatangi kami dan berkata, “Kemarilah! Ambillah semua harta kalian!” Ia lalu mengajak kami menemui kedua pemimpin mereka. Ternyata, keduanya sudah tewas mengenaskan. Di tubuh masing-masing dari mereka ada sebuah terompah yang masih basah. Mereka lalu mengembalikan barang-barang kami dan melepaskan kami dengan hati dipenuhi rasa takut. Mereka berkata, “Ini sungguh bukan hal yang biasa. Ini benar-benar aneh dan mencengangkan. Silahkan kalian pergi dan bawa barang-barang kalian kembali!” Kami pun bisa terbebas dan selamat berkat campur tangan Alloh swt melalui kedua terompah sang Syekh. []

Sumber: Allujain, Addani fi Manaqib Asy Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, 61-65.

Standard
Sang Terpuji

Misteri Kelahiran Nabi saw.

Dalam bulan Rabiul Awal ini, Nabi Muhammad saw dilahirkan melalui Sayyidat Aminah. Kami akan menampilkan secara berkala tentang Beliau dan peristiwa yang mengiringinya. Kami ambil dari kitab-kitab Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani yang membahas tentang Nabi Muhammad saw. Akhir kata, selamat mengikuti.

Menurut pendapat yang shahih, kelahiran beliau terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan pada bulan Muharram, Rajab, Ramadhan, atau bulan-bulan mulia lainnya, karena sesungguhnya beliau tidak menjadi mulia dikarenakan zaman, justeru zaman menjadi mulia disebabkan beliau. Demikian pula tempat. Seandainya beliau dilahirkan pada satu bulan di bulan-bulan yang mulia tersebut niscaya disangka bahwa beliau menjadi mulia karena bulan-bulan itu. Allah ta’ala lalu menjadikan kelahiran beliau pada bulan yang lain, agar tampaklah perhatian dan pemuliaan-Nya terhadap beliau. Jikalau hari Jum’at, yang Nabi Adam terlahir di dalamnya, diistimewakan dengan satu waktu yang seorang hamba muslim tidak menjumpainya seraya memohon kebaikan kepada Allah di dalamnya kecuali Allah memenuhi permohonannya, maka apa pandanganmu terhadap waktu yang di dalamnya penghulu para nabi dilahirkan. Dan pada hari Senin, hari kelahiran beliau, Allah ta’ala tidak membuat beban-beban hukum ibadah, seperti halnya Dia membuat beban-beban hukum ibadah pada hari Jum’at, di mana Nabi Adam diciptakan di dalamnya, seperti shalat Jum’at, khutbah, dan berbagai ibadah lainnya, dalam rangka memuliakan Nabi-Nya, dengan cara meringankan beban pada umat beliau, sebagai bentuk perhatian akan keberadaan beliau. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta. (Q.S. al-Anbiya’: 107)

Dan termasuk bagian dari rahmat itu adalah tidak adanya beban-beban hukum ibadah. []

di ambil dari kitab Dzakhair Muhammadiyah.

Standard