Sangu Turu

Kesempatan

Sobat, bersyukurlah, hingga saat ini Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk memilih, jadi manusia yang malang, menyesal, dan meratapi dunianya, atau ingin menjadi golongan manusia yang puas dengan kebaikan yang sudah dikerjakan saat hidup.

Kita masih punya kesempatan untuk memilih, menjadi orang yang hanya dipuja oleh sesama namun dimurka oleh Tuhan, atau menjadi orang yang dimata manusia terhormat, dalam pandangan Alloh berlimpah rahmat.

Kita masih punya waktu. Manfaatkan sisa usia ini untuk memaksimalkan pengabdian kita pada Alloh azza wa jalla.

Hingga apabila telah  datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku beramal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan dihadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminun: 99-100)

Standard
Tertawa dan Menangis

Air Mata Palsu

Abu Kudamah Haris ibn Ubaid al-Ilyad menceritakan bahwa sekelompok orang mendatangi Hasan al-Bashri dan berkata, ” Wahai Abu Said, kami mengikuti halaqah zikir. Lalu kami melihat sebagian orang datang dan langsung menangis. Sementara, kami tidak bisa menangis.”

Hasan al-Bashri menjawab, “Meskipun mata tidak menangis, hati dan amal menangis! Betapa banyak orang yang matanya menangis, tetapi air matanya palsu.” Kemudian ia membaca ayat: “Kemudian mereka datang kepada ayah mereka pada petang hari sambil menangis.”[1]
___________________________

[1] QS. Yusuf [12]: 16. Lihat Al-Isyraf, h. 327, ayat di atas membahas saudara-saudara Yusuf alahissalam yang melemparkannya ke dalam sumur seraya menangis dan berbohong kepada Yakub alaihissalam bahwa seekor serigala memangsa Yusuf alaihissalam. Terjemahan lengkap ayat tersebut adalah: *16.* Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis. *17.* Mereka berkata: “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar”.

Standard
Catatan Dhuha

Tiga Pertanyaan Satu Jawaban

Suatu hari ada orang yang mengadu kepada Imam Hasan Al-Bashri tentang lamanya musim kemarau, maka beliau memberi nasihat, “Beristighfarlah kepada Allah”.

Kemudian datang lagi orang yang mengadu tentang kemiskinan, maka beliau pun memberi solusi cepat menyelesaikan masalah, “Beristighfarlah kepada Allah!” Terakhir, ada seseorang yang meminta agar didoakan punya anak, maka Imam Hasan Al-Bahri menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah!”

Ar-Rabi’ bin Shabih yang kebetulan hadir di situ langsung bertanya, “Kenapa engkau menyuruh mereka semua untuk beristighfar?” Maka, Imam Hasan Al-Bashri pun menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri.

Tetapi, sungguh Allah _azza wa jalla_ telah berfirman dalam surat Nuh:

“فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً . يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً . وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً” (نوح: 10-12)

“Aku (Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.”

Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ juga bersabda, yang menyuruh kita memperbanyak istigfar membuka salah satu kunci rezeki.

“مَنْ أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ؛ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”

“Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka” (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas)

(Disadur dari Kitab Tafsir AL Jami’ Li-Ahkam al-Qur’an karya Imam Qurtubi).

Standard
Al Islam, Renungan Hati

Katakan, “Alloh bersamaku!”

Suatu malam, ketika kami sedang mengikuti sijil di negeri jiran (sekitar tahun 2008), teman kami yang sesama tim dokter menyampaikan pada saya suatu informasi yang sangat mencengangkan. Membuat saya tidak bisa memejamkan mata malam itu. Antara percaya dan tidak. Lalu siapa yang bisa saya percayai?

Sampai pagi hari saya masih seperti orang linglung. Tiba-tiba Allah mengingatkan saya dengan gurunda di tanah air. Abi K.H. M. Ihya’ Ulumiddin. Waktu itu sekitar pukul 8 pagi, langsung saya telpon SLJJ dari negeri jiran ke Indonesia, menghubungi Abi Ihya’. Saya ceritakan keadaan saya, informasi yang saya peroleh, serta mohon petunjuk dan arahan Abi, apa yang harus saya lakukan.
Maasyaa Allah.. Abi langsung menjawab, “Iya, saya langsung istikharahkan sekarang. Kamu tunggu, nanti saya SMS-kan jawabannya.” (Waktu itu belum ada WA seperti sekarang).

Tak lama, sekitar 20-30 menit kemudian, datang SMS dari Abi Ihya’. Beliau menunjukkan ayat hasil istikharah, yang berbicara tentang: Qarun (saya lupa ayat persisnya). Waktu itu saya langsung buka Al-Qurán Terjemah, dan benar di situ tertulis judul ayatnya: Qarun berikut kisahnya.
Membaca ini saja, rasanya jantung saya mau copot, gemetar, lemes, tak pernah terbayangkan sebelumnya, hampir-hampir tak percaya (mungkin orang lain pun tidak akan percaya dengan ini). Tetapi saya segera melawan perasaan dengan akal sehat yang masih tersisa, meyakinkan diri, bahwa petunjuk itu adalah dari Allah melalui gurunda Murabbi ruhina, Abi Ihya’.
Saya tanya pada Abi, via SMS, “Tidak bisakah jika misalnya kami memberikan masukan atau nasihat kepada yang bersangkutan, Bi?”
Jawab Abi, “Sudah sulit. Karena isyarahnya: Qarun. Qarun itu keras kepala. Sulit menerima kebenaran. Sebaiknya kamu mundur saja.”
“Apa yang harus saya lakukan, Bi?”
“Ya, kamu pulang saja. Minta izin baik-baik. Pakai alasan: keluarga tidak mengizinkan.”
Akhirnya saya jawab, “Inggih, Bi.”
Saya pun segera membatalkan meneruskan kontrak itu dan pulang ke tanah air.
Setelah sampai di tanah air, kami langsung sowan Abi. Dengan senyum seperti biasa yang sangat meneduhkan, dengan nada yang sangat lembut Abi bertanya, “Yak apa ceritane?” (Bagaimana ceritanya?)
Saya cerita semampu apa yang bisa diceritakan, karena rasa hati masih nggak karuan. Bayangkan, kami mengetahui hal yang sangat rahasia berhubungan dengan Tauhid/Keimanan yang semestinya harus kita jaga steril dari kemusyrikan. Kalau diceritakan kepada orang lain kemungkinan besar mereka tidak akan percaya, malah bisa jadi berbalik menjadi fitnah bagi kami.
Pertanyaan penting dari Abi: “Nang kono nggawe kitab apa? Katanya pengobatan Islami?” (Di sana pakai kitab apa? Katanya pengobatan Islami?)
Saya jawab, “Banyak buku bacaannya, tapi yang sering dijadikan acuan kitabnya Ibnu Sina, Al-Qanun fiil Thibb. Saya baca terjemahan kitab berbahasa Melayu, ada pula yang terjemah dari bahasa Inggris, The Canon, tapi kok nggak bisa memahami sama sekali ya, Bi? Satu paragraf aja nggak paham. Pusing kepala saya. Tapi… kok bisa ya muncul resep-resep pengobatan herbalnya? Kalau saya tanya, nggak pernah dijelaskan dengan detil dan logis. Jadi.. sebulan lebih di sana, seperti tidak memperoleh ilmu apa-apa.”
Abi menanggapi. “Sebuah kitab yang ditulis di masa lalu, kemudian tidak ada murid-murid yang bersambung mengajarkannya sampai ke masa sekarang, lalu jika tiba-tiba ada seseorang yang bisa sukses kaya-raya dengan kitab itu, maka perlu dipertanyakan: Siapa gurunya?”
Sungguh, sebuah pelajaran hidup yang luar biasa. Kesadaran rasa syukur yang tak ternilai dengan materi, diparingi guru Murabbi ruhina yang tidak hanya sekedar tempat belajar menimba ilmu, namun lebih dari itu, lewat Murabbi yang benar-benar dekat dengan Allah, kami kecipratan barakahnya. Menjadi lentera dan penuntun di mana kaki kami seharusnya melangkah. (Farida Megalini – Surabaya, Santri Abi Ihya’ Ulumiddin. Bersama Sang Murobbi Jilid 1, Persyadha)

***

Saudaraku,
Badai pasti berlalu, bahagia pun akan datang. Tak ada kesulitan, jika tidak ada hikmah di baliknya. Allah senantiasa ada di mana pun kita berada. Semakin tinggi iman seseorang, maka kadar ujiannya pun akan semakin tinggi. Bukan untuk meluluhlantakan hidup kita, melainkan menambah poin kebaikan kita di sisi Alloh.

Continue reading

Standard
Sang Terpuji

Berkah Air Ludah al-Musthofa Shallallahu ‘alaihi wassalam

Abdurrahman bin Harits bin Ubaid menuturkan bahwa saat perang Uhud, mata Abu Dzar al-Ghifari luka parah karena senjata musuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menolongnya dengan mengusapkan ludahnya pada mata Abu Dzar hingga sembuh dan pulih pada saat itu juga.

Assalamu’alaika ya Sayyidi ya Rasulullah.

Referensi: Barakat al-Musthafa Shallallahu ‘alaihi wassalam karya Sa’id Abdul Qadir Ba Syanfar

Standard