Suatu malam, ketika kami sedang mengikuti sijil di negeri jiran (sekitar tahun 2008), teman kami yang sesama tim dokter menyampaikan pada saya suatu informasi yang sangat mencengangkan. Membuat saya tidak bisa memejamkan mata malam itu. Antara percaya dan tidak. Lalu siapa yang bisa saya percayai?
Sampai pagi hari saya masih seperti orang linglung. Tiba-tiba Allah mengingatkan saya dengan gurunda di tanah air. Abi K.H. M. Ihya’ Ulumiddin. Waktu itu sekitar pukul 8 pagi, langsung saya telpon SLJJ dari negeri jiran ke Indonesia, menghubungi Abi Ihya’. Saya ceritakan keadaan saya, informasi yang saya peroleh, serta mohon petunjuk dan arahan Abi, apa yang harus saya lakukan.
Maasyaa Allah.. Abi langsung menjawab, “Iya, saya langsung istikharahkan sekarang. Kamu tunggu, nanti saya SMS-kan jawabannya.” (Waktu itu belum ada WA seperti sekarang).
Tak lama, sekitar 20-30 menit kemudian, datang SMS dari Abi Ihya’. Beliau menunjukkan ayat hasil istikharah, yang berbicara tentang: Qarun (saya lupa ayat persisnya). Waktu itu saya langsung buka Al-Qurán Terjemah, dan benar di situ tertulis judul ayatnya: Qarun berikut kisahnya.
Membaca ini saja, rasanya jantung saya mau copot, gemetar, lemes, tak pernah terbayangkan sebelumnya, hampir-hampir tak percaya (mungkin orang lain pun tidak akan percaya dengan ini). Tetapi saya segera melawan perasaan dengan akal sehat yang masih tersisa, meyakinkan diri, bahwa petunjuk itu adalah dari Allah melalui gurunda Murabbi ruhina, Abi Ihya’.
Saya tanya pada Abi, via SMS, “Tidak bisakah jika misalnya kami memberikan masukan atau nasihat kepada yang bersangkutan, Bi?”
Jawab Abi, “Sudah sulit. Karena isyarahnya: Qarun. Qarun itu keras kepala. Sulit menerima kebenaran. Sebaiknya kamu mundur saja.”
“Apa yang harus saya lakukan, Bi?”
“Ya, kamu pulang saja. Minta izin baik-baik. Pakai alasan: keluarga tidak mengizinkan.”
Akhirnya saya jawab, “Inggih, Bi.”
Saya pun segera membatalkan meneruskan kontrak itu dan pulang ke tanah air.
Setelah sampai di tanah air, kami langsung sowan Abi. Dengan senyum seperti biasa yang sangat meneduhkan, dengan nada yang sangat lembut Abi bertanya, “Yak apa ceritane?” (Bagaimana ceritanya?)
Saya cerita semampu apa yang bisa diceritakan, karena rasa hati masih nggak karuan. Bayangkan, kami mengetahui hal yang sangat rahasia berhubungan dengan Tauhid/Keimanan yang semestinya harus kita jaga steril dari kemusyrikan. Kalau diceritakan kepada orang lain kemungkinan besar mereka tidak akan percaya, malah bisa jadi berbalik menjadi fitnah bagi kami.
Pertanyaan penting dari Abi: “Nang kono nggawe kitab apa? Katanya pengobatan Islami?” (Di sana pakai kitab apa? Katanya pengobatan Islami?)
Saya jawab, “Banyak buku bacaannya, tapi yang sering dijadikan acuan kitabnya Ibnu Sina, Al-Qanun fiil Thibb. Saya baca terjemahan kitab berbahasa Melayu, ada pula yang terjemah dari bahasa Inggris, The Canon, tapi kok nggak bisa memahami sama sekali ya, Bi? Satu paragraf aja nggak paham. Pusing kepala saya. Tapi… kok bisa ya muncul resep-resep pengobatan herbalnya? Kalau saya tanya, nggak pernah dijelaskan dengan detil dan logis. Jadi.. sebulan lebih di sana, seperti tidak memperoleh ilmu apa-apa.”
Abi menanggapi. “Sebuah kitab yang ditulis di masa lalu, kemudian tidak ada murid-murid yang bersambung mengajarkannya sampai ke masa sekarang, lalu jika tiba-tiba ada seseorang yang bisa sukses kaya-raya dengan kitab itu, maka perlu dipertanyakan: Siapa gurunya?”
Sungguh, sebuah pelajaran hidup yang luar biasa. Kesadaran rasa syukur yang tak ternilai dengan materi, diparingi guru Murabbi ruhina yang tidak hanya sekedar tempat belajar menimba ilmu, namun lebih dari itu, lewat Murabbi yang benar-benar dekat dengan Allah, kami kecipratan barakahnya. Menjadi lentera dan penuntun di mana kaki kami seharusnya melangkah. (Farida Megalini – Surabaya, Santri Abi Ihya’ Ulumiddin. Bersama Sang Murobbi Jilid 1, Persyadha)
***
Saudaraku,
Badai pasti berlalu, bahagia pun akan datang. Tak ada kesulitan, jika tidak ada hikmah di baliknya. Allah senantiasa ada di mana pun kita berada. Semakin tinggi iman seseorang, maka kadar ujiannya pun akan semakin tinggi. Bukan untuk meluluhlantakan hidup kita, melainkan menambah poin kebaikan kita di sisi Alloh.
Continue reading →