Al Islam

Bershuhbah dalam Takwa

Suatu hari Habib Muhammad bin Hadi Shohib Tuhfah al Asyraaf menyalakan lampu, seraya beliau berkata: “Ini ada-lah cahaya lahiriah. Jika lampu ini pa-dam, kita tidak bisa melihat apa-apa dan kita akan berada dalam kegelapan. Adapun cahaya batin adalah cahaya di dalam hati yang dinya-lakan oleh perasan cinta dan ‘irfan (makrifat). Cinta dan ‘irfan diperoleh karena selalu taat kepada Alloh Yang Maha Pengasih. Dalam diri orang yang memiliki cahaya ini akan muncul karomah. Kita ini bukannya berusaha mencari karomah-karomah, tetapi malah mematikan cahaya di dalam hati dengan banyak melakukan maksiat dan sedikit berbuat taat…” (Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdur-rahman Assegaf : Kisah dan Hikmah, dari manuskrip Tuhfah al Asyraaf   I:284,  Nasihat Ke-7, Hal. 122).

Nasihat Habib Muhammad bin Hadi ini sangat berhubungan erat sekali dengan penempatan semangat diri kita yang seyogyanya pada setiap saat selalu ditingkatkan. Terlebih lagi ketika kita sedang memasuki bulan-bulan Haji ini, dimulai dari Syawwal,  Dzul Qa’dah, dan diakhiri pada Dzul Hijjah, kita harus berupaya membenahi diri dengan semangat ketaatan yang baik. Ketaatan yang baik kiranya dapat diben-tuk oleh lingkungan yang kondusif, dan salah satunya adalah membangun sistem shuhbah (pertemanan) di sekitar kita. Sebab, disadari atau tidak, diri manusia pada fitrahnya sangat menginginkan kebebasan memilih (hurriyyah al ikhtiyaar), menentukan jalan hidupnya sendiri, apakah hendak berbuat baik ataukah berbuat buruk? Alloh Ta’ala telah berfirman:

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Alloh. Sesung-guhnya Alloh adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. 91 : 30)

Yang dimaksud dengan “kecuali bila dikehendaki Alloh” diatas adalah kebebasan memilih itu sendiri yang telah diberikan kepada kita sebagai karakter dasar kemanusiaan. Alloh telah menyempurnakan penciptaan jiwa manu-sia, kemudian mengilhamkan kepadanya dua jalan, kefasikan dan ketaqwaan. Maka dengan adanya akal yang telah dianugerahkan, hendak-nya manusia bisa memilih bagaiamana ia harus mensucikan jiwanya, dan menghindar dari me-ngotorinya (lihat Q.S. Asy Syams : 7-10).
Dengan prinsip shuhbah ini nantinya diha-rapkan penempatan diri terletak pada jalur yang benar dan lurus, tidak tahawwur atau ngawur, tidak terkesan asal-asalan,  tanpa pertimbangan dan acuan yang jelas. Konsep shuhbah adalah sistem penanganan kepribadian yang terkondi-sikan oleh suatu lingkungan yang baik, mencari sahabat yang baik, menuju cara berpkir dan ber-perilaku yang baik pula, yang pada akhirnya menghantarkan kita pada cara berkepribadian yang benar-benar Islami. Firman Alloh:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Q.S. At Taubah: 119)

Dalam surat At Taubah ayat 119 diatas ini tersirat makna pesan yang sangat dalam tentang adanya proses ma’iyah atau kebersamaan dengan orang-orang yang memiliki pribadi agung seperti para nabi dan kaum sholih. Pribadi agung itu disebut oleh Al Qur’an sebagai pribadi Ash Shiddiq. Pribadi yang menghargai kejujuran dan kebenaran dengan melaksanakannya sebagai perbuatan sehari-hari. Setidaknya dengan bershuhbah bersama kaum sholih, mengaji ajarannya, meneladani kehidupannya, pada gilirannya nanti pribadi kitapun akan terbentuk seperti mereka. Demi-kian halnya dengan jiwa kita, umpama besi yang siap digesek pada magnet, dengan beberapa kali gesekan pada akhirnya akan menjadi magnet pula.

Niat dalam Shuhbah
Imam Ibnu Qudamah di dalam kitabnya Minhaj al Qoshidin menguraikan tentang betapa pentingnya kita mengetahui dan mema-hami niat dan sifat yang menjadi syarat shuhbah menuju taqwa. Hal yang sangat mendasar un-tuk diketahui bahwa persahabatan hendaknya dilakukan tidak harus kepada setiap orang, be-gitupun seharusnya sahabat yang kita pilih seba-gai orang terdekat dapat dibedakan dengan me-lihat sifatnya yang menyebabkan kebahagiaan hakiki, bukan kesengsaraan yang menipu diri.

Perhatikanlah syarat mutlak berma’iyah dalam shuhbah dengan melihat manfaat yang perlu diambil darinya. Bedakan apakah kepen-tingan itu bersifat duniawi, yang kita hanya da-pat mengambil keuntungan harta dan kewiba-waan untuk tujuan pribadi semata. Ataukah ke-pentingan itu bersifat keagamaan, dimana di dalamnya banyak tujuan-tujuan yang menghan-tarkan kita pada kemuliaan, yang antara lain:
1.    Mengambil manfaat ilmu dan amal yang jelas murni tujuannya.
2.    Pengaruh wibawanya yang dapat menjaga kita dari ancaman ataupun tekanan orang lain yang meresahan hati dalam konsentrasi ibadah.
3.    Meminta bantuan materil darinya untuk meringankan beban kita demi terhindar dari menyiakan waktu hanya untuk mencari sekedar kebutuhan pokok saja.
4.    Meminta bantuan dalam hal yang dinilai sangat butuh dan penting, karena dengan demikian kita lebih waspada, bersiap diri terhadap segala kemungkinan kejadian yang akan menimpa diri, hingga akhirnya kitapun mampu untuk mengatasinya.
5.    Mengharap akan datangnya pertolongan (syafa’ah) dari sahabat yang sholih atau sholihah kelak di akhirat. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Ulama’ Salaf, “Per-banyaklah mencari kawan, karena sesung-guhnya pada setiap mu’min itu ada syafa’ah pertolongan.”

Sifat yang disyaratkan dalam Shuhbah
Untuk mengokohkan ikatan tali persahaba-tan, perlu ditekankan adanya pengaruh kuat lima sifat yang menjadi tujuan utama tercapai-nya kemuliaan. Hendaknya sahabat kita itu adalah orang yang berakal, berbudi luhur, tidak fasiq, bukan ahli bid’ah, dan tidak cinta dunia. Mengapa demikian? Pertama, karena akal pikiran kita adalah modal utama dalam menen-tukan pengokohan shuhbah, maka tak ada ke-baikan yang bisa diperoleh dari bersahabat de-ngan orang yang dungu, karena ketika ia hen-dak memberi sesuatu yang dianggap berman-faat bagi kita, malah nyatanya bahaya yang sangat merugikan. Sedangkan maksud dari orang yang berakal itu sendiri adalah yang memahami setiap urusan sesuai dengan kenya-taannya, baik memahami dengan dirinya sendi-ri, atau dengan sekiranya bila ia diberi pemaha-man akan segera mengerti. Kedua adalah budi pekerti yang luhur, tentu itu harus ada sebagai perangkat yang mendampingi peran akal. Karena betapa banyak orang yang berakal tapi terkalahkan oleh ammarah dan syahwah dirinya yang membuat ia tunduk takluk di bawah kaki hawa nafsunya sendiri. Ia tidak memiliki akhlak mahmudah (terpuji), tapi yang ada hanyalah akhlak madzmumah (tercela). Tak ada kebaikan yang bermakna bila kita harus bersahabat dengannya. Ketiga adalah fasiq, yakni orang yang seringkali melakukan dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya orang tersebut tidak takut kepada Alloh. Sedangkan orang yang tidak takut kepada Tuhannya, ia tidak akan aman dari ‘bayangan tikaman’ keburukan dari arah belakang. Suatu saat ia sangat mung-kin sekali melakukan kesalahan besar akibat kelalaian yang diperbuatnya. Mengapa kita harus bershuhbah dengan orang yang belum bisa memberi aman pada dirinya sendiri?  Keempat adalah ahli bid’ah, yakni orang yang senang membuat-buat tentang urusan mendasar dalam agamanya. Tentu kita harus waspada dengan orang yang semisal ini, karena ia umpama orang yang sedang terkena penyakit menular, yang kita khawatir suatu saat penyakit menular (bid’ah) miliknya itu berpindah kepada kita.  Kemudian yang kelima adalah orang yang cinta dunia, seluruh perhatiannya kepada dunia (material oriented), pepatahnya adalah “tiada hari tanpa dunia,” sebenarnya orang itu adalah tali yang dapat menyeret kita kepada jurang kecelakaan, maka lepaslah ia agar kita selamat dari jebakannya.

Al Hashil
Dari sekian tangga, sekian tahapan, dan sekian proses yang kita jalani sesuai arahan yang benar dalam sistem bershuhbah diatas, pada akhirnya diharapkan kitapun akan men-capai puncaknya, bersahabat dengan orang-orang sholih untuk ikut  menjadi sholih pula, setidaknya berusaha menyerupai akhlak mereka yang mulya. Bergesekan dengan magnet agar menjadi magnet pula, setidaknya menjadi besi sembrani yang memiliki daya tarik juga.         Berangkat dari semangat inilah kita sebe-narnya ingin berusaha memahami ucapan Habib Muhammad bin Hadi yang penuh pancaran hikmah tersebut. Kita mesti berusaha mene-mukan cinta dan ‘irfan untuk taat kepada Alloh dalam shuhbah yang indah. Inilah kiranya maksud dari ucapan Habib Abdulloh bin Alwi Al Haddad dalam kitabnya Al Hikam, beliau berkata: “Barangsiapa yang hak Tuhannya lebih menyibukkan ia daripada hak-hak dirinya dan saudaranya, maka orang itu adalah hamba al hadlrah (orang yang hatinya selalu hadir kepada tuhan). Barangsiapa yang pemenuhan terhadap hak dirinya lebih menyibukkan ia dari-pada pemenuhan terhadap hak Tuhannya dan saudaranya, maka orang itu adalah hamba asy syahwah (hawa nafsu). Barangsiapa yang pemenuhan terhadap hak-hak saudaranya lebih menyibukkan ia daripada pemenuhan terhadap       hak-hak Tuhannya dan dirinya, maka orang itu adalah hamba al riyasah (kekuasaan). Dan barangsiapa yang pemenuhan terhadap hak-hak Tuhannya dan saudaranya lebih menyibukan ia daripada pemenuhan terhadap hak-hak dirinya, maka orang itu adalah shohib wirotsah (pemilik warisan para nabi).”

Standard

Leave a comment